Mengenai Istri Yang Bekerja Karena Kematian Suami

kematian-suamiIslam mengajarkan bahwa kodrat perempuan adalah domestik, yang mana itu berarti setiap wanita haruslah tetap tinggal di rumahnya, untuk menyelesaikan seluruh tugas domestiknya, seperti mencuci baju, memasak, merapikan rumah, mengasuh buah-hati, dsb. Intinya, perempuan, apapun status sosialnya (apakah ia belum menikah, atau sudah bersuami, miskin, kaya, bangsawan, jelata, dsb), tetaplah harus tinggal di rumah, atau lebih tepatnya lagi: tidak dibenarkan untuk bekerja mencari uang, nafkah dan karir.

Nafkah setiap perempuan, sudah ditanggung oleh laki-laki mereka, apakah suaminya, ayahnya, kakeknya, pamannya, abangnya, putranya, adik lelakinya, dsb. Oleh karena itu perempuan tidak mempunyai alasan untuk bekerja mencari uang, nafkah mau pun karir. Lebih spesifik lagi, kalau seorang perempuan bekerja, maka siapa yang akan menyelesaikan seluruh tugas domestiknya?

Di dalam kehidupan ini banyak terdapat ibu rumahtangga yang tidak bekerja, yaitu kelompok wanita atau ibu-ibu yang berteguh tinggal di rumahnya untuk menyelesaikan seluruh tugas rumahtangganya, sementara untuk urusan nafkah dan keuangan, sudah ditanggung oleh suami atau ayah-ayah mereka. Mereka biasa disebut dengan istilah wanita rumahan, karena tidak pernah keluar rumah untuk bekerja mencari nafkah, uang mau pun karir. Kelompok ibu-ibu ini sudah benar jalan hidupnya menurut syariah dan logika, serta hukum alam.

Namun ada kalanya, suami, atau ayah, yang selama ini berperan sebagai tulang punggung keuangan keluarga, wafat. Dengan wafatnya sang ayah / suami, maka praktis hilanglah sumber nafkah dan keuangan keluarga, sementara kebutuhan hidup tidak pernah berhenti. Hal ini pasti menjadi suatu pertanyaan bagi setiap istri dari tipe wanita rumahan ini.

Banyak para wanita yang tidak bekerja ini, alias wanita rumahan, akhirnya memutuskan untuk bekerja mencari uang, untuk menafkahi anak-anak dan memenuhi seluruh kebutuhan hidup. Mereka, setelah kewafatan sang suami, mengambil inisiatif untuk bekerja, tanya lowongan sana-sini, mencari iklan pekerjaan di koran, dsb. Dan pada akhirnya, mereka pun mulai bekerja, yang artinya setiap pagi mereka telah berangkat ke tempat kerja, meninggalkan seluruh tugas dan kodrat domestik mereka di rumah. Itu semua mereka lakukan demi menyambung hidup keluarga dan anak-anak ….. sejak ditinggal mati oleh suami atau ayah.

Prinsip Islam adalah, bahwa sejatinya wanita Muslimah tidak diperkenankan untuk bekerja mencari uang, nafkah dan karir, atau juga untuk keluar rumah, untuk selama-lamanya. Dan ketika suami wafat sehingga tidak ada lagi sumber nafkah untuk seisi keluarga, sebenarnya tetaplah seorang wanita (atau istri / ibu ini) tidak diperkenankan untuk keluar rumah untuk bekerja mencari uang, nafkah, dan karir. Oleh karena itu, kalau ada seorang istri yang semula tidak bekerja melainkan berteguh diam di rumahnya untuk menyelesaikan seluruh tugas domestiknya, namun kemudian ia bekerja mencari uang, nafkah dan karir -dikarenakan kematian sang suami, maka wanita ini telah menempuh jalan yang salah. Yang benar adalah bahwa wanita ini tetaplah harus tinggal dan diam di dalam rumah, karena seluruh tugas domestiknya harus diselesaikan secara paripurna.

Kematian suami / ayah tidak pernah menjadi alasan pembenar bagi seorang perempuan untuk keluar rumah untuk bekerja mencari uang, nafkah dan karir.

Ingatlah, kalau perempuan selalu keluar rumah untuk tujuan yang permanen, yaitu untuk bekerja mencari uang -dan juga untuk menuntut ilmu, maka dipastikan lama-kelamaan perempuan tersebut akan terkena fitnah. Terlebih ia akan lebih banyak meninggalkan tugas domestiknya. Yang jelas sedikit demi sedikit ia akan tergerus kesucian dan kepekaannya sebagai perempuan. Anak-anak pun akan kehilangan perhatian ibu mereka. Dan masih banyak lagi hal negatif yang akan terjadi kalau seorang perempuan keluar rumah untuk bekerja (mau pun menuntut ilmu).

Apakah solusinya?

Kebutuhan hidup tentulah harus dipenuhi, tidak bisa tidak. Segala upaya dan usaha untuk memenuhi kebutuhan hidup, tetaplah juga harus mengikuti norma dan ajaran yang ada, dan di dalam hal ini adalah norma Islam.

Kalau suami wafat, maka praktis kebutuhan keluarga terkendala. Sementara di lain pihak, Islam mengajarkan bahwa tugas dan kodrat perempuan (istri) adalah senantiasa domestik untuk berteguh di rumahnya. Islam tidak memberi ijin sedikit pun bagi perempuan untuk bekerja, apapun alasannya.

Kalau suami wafat, maka istri akan menjadi janda, baik apakah ia seorang janda dengan sekian anak yang masih kecil, mau pun janda tanpa anak sekali pun.

Di dalam Islam tidak dikenal istilah janda mau pun duda, apalagi istilah perjaka mau pun gadis. Maksudnya adalah, setiap orang, apakah ia laki-laki, perempuan, gadis mau pun perjaka, janda mau pun duda, maka harus segera dinikahkan (kembali). Oleh karena itu di dalam Islam menjadi janda tidak diperkenankan.

Seorang istri yang kematian suami, maka setelah lewat tiga bulan sepuluh hari (yaitu masa iddah) ia harus dinikahkan kembali kepada lelaki lain – atau suami baru. Itulah ajaran Islam. Islam pun tidak mentolerir kalau ada seorang janda (istri yang baru saja kematian suaminya) menolak untuk menikah lagi (berumahtangga lagi) dengan pria lain, dengan alasan misalnya,

  • ingin fokus membesarkan anak-anak,
  • tidak ingin mengkhianati cinta mendiang suami,
  • tidak sudi untuk menikah dengan pria lain,
  • ingin menjadi single-parent,
  • tidak ingin memberi ‘ayah baru’ bagi anak-anak,
  • tidak ingin hidup dengan dua suami.
  • ingin terus dipredikatkan sebagai janda dari suaminya yang wafat (mungkin karena ada konsesi harta warisan dari kematian sang suami), dsb.

Islam tidak membenarkan semua alasan tersebut, yang sebenarnya alasan tersebut adalah alasan picisan yang tidak dapat diterima secara syariah.

Alhadis ini secara an-sich mengajarkan bahwa setiap manusia yang sehat haruslah menikah, dan hidup membujang bukanlah kehidupan yang Islami. Namun secara lebih signifikan, Alhadis ini mempunyai korelasi dengan nasib seorang istri yang kematian suaminya, apakah ia harus bekerja demi mengganti posisi sang suami yang telah wafat. Maka jawabannya adalah tidak.

Seorang istri, yang kematian suaminya, tetaplah tidak diperkenankan untuk bekerja mencari nafkah. Dan alih-alih ia harus bekerja mencari nafkah, justru wanita yang janda ini harus dinikahkan kembali. Pun Islam / syariah tidak dapat mentolerir alasan apapun yang dikemukakan seorang janda untuk menolak dinikahkan kembali.

Kalau seorang istri yang kematian suaminya dinikahkan kembali dengan suami barunya, maka tidak perlulah lagi baginya untuk bekerja mencari nafkah, karena nafkahnya sudah ditanggung suami barunya. Itulah ajaran Allah Swt yang lurus dan sahih.

Untuk bacaan lebih lanjut mengenai bahasan ini, silahkan klik “Gradasi Larangan Wanita Bekerja”.

Wallahu a’lam bishawab.

2 thoughts on “Mengenai Istri Yang Bekerja Karena Kematian Suami

  1. Hmmm..artikel yg bagus…tp saya janda.s lm 7th..tidak bekerja..sy juga ingin sekali menikah lg untuk menghindari fitnah…tp sampai saat ini.. proposal sy kpd Allah blm terkabul…mohon doa nya…

    Annisanation,
    AMin ya robbal alamiin ….

  2. Mana yg benar? Masa iddah istri yg suami nya meninggal adalah 4 bln 10 hr atau 3 bln 10 hr sprt yg bp tulis?

    Annisanation,
    lamanya tentu bervariasi.

    dikutip dari situs taushyiah,
    **************
    Berikut ini rincian rentang waktu masa iddah.

    1. Apabila suami meninggal.
    a. Jika perempuan tersebut hamil, maka masa iddahnya = hingga bayi melahirkan.
    “Dan perempuan-perempuan yang tidak haid lagi (monopause) di antara perempuan-perempuanmu jika kamu ragu-ragu (tentang masa iddahnya) maka iddah mereka adalah tiga bulan; dan begitu (pula) perempuan-perempuan yang tidak haid. Dan perempuan-perempuan yang hamil, waktu idah mereka itu ialah sampai mereka melahirkan kandungannya. Dan barang siapa yang bertakwa kepada Allah niscaya Allah menjadikan baginya kemudahan dalam urusannya.” (Ath-Thalaq(65):4)

    b. Sedangkan apabila tidak hamil, maka masa iddahnya = 4 bulan 10 hari.
    “Orang-orang yang meninggal dunia di antaramu dengan meninggalkan istri-istri (hendaklah para istri itu) menangguhkan dirinya (beridah) empat bulan sepuluh hari. Kemudian apabila telah habis idahnya, maka tiada dosa bagimu (para wali) membiarkan mereka berbuat terhadap diri mereka menurut yang patut. Allah mengetahui apa yang kamu perbuat.” (Al Baqarah(2):234)

    2. Apabila bercerai, dibagi menjadi cerai yg bisa rujuk (talak 1& talak 2) serta cerai yg tidak bisa rujuk (talak 3). Inipun dibagi lagi menjadi yg masih haid ataupun sudah tidak haid (tua).
    a. Untuk kasus bisa rujuk dan masih haid, masa iddahnya = 3 kali haid.
    “Wanita-wanita yang ditalak hendaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru. Tidak boleh mereka menyembunyikan apa yang diciptakan Allah dalam rahimnya, jika mereka beriman kepada Allah dan hari akhirat. Dan suami-suaminya berhak merujukinya dalam masa menanti itu, jika mereka (para suami) itu menghendaki ishlah. Dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang makruf. Akan tetapi para suami mempunyai satu tingkatan kelebihan daripada istrinya. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (Al Baqarah(2):228)

    b. Kasus bisa rujuk dan tidak haid, masa iddah = 3 bulan.
    “Dan perempuan-perempuan yang tidak haid lagi (monopause) di antara perempuan-perempuanmu jika kamu ragu-ragu (tentang masa iddahnya) maka iddah mereka adalah tiga bulan; dan begitu (pula) perempuan-perempuan yang tidak haid. Dan perempuan-perempuan yang hamil, waktu idah mereka itu ialah sampai mereka melahirkan kandungannya. Dan barang siapa yang bertakwa kepada Allah niscaya Allah menjadikan baginya kemudahan dalam urusannya.” (Ath-Thalaq(65):4)

    c. Bisa rujuk dan sedang hamil, masa iddah = melahirkan bayi.
    “Dan perempuan-perempuan yang tidak haid lagi (monopause) di antara perempuan-perempuanmu jika kamu ragu-ragu (tentang masa iddahnya) maka iddah mereka adalah tiga bulan; dan begitu (pula) perempuan-perempuan yang tidak haid. Dan perempuan-perempuan yang hamil, waktu idah mereka itu ialah sampai mereka melahirkan kandungannya. Dan barang siapa yang bertakwa kepada Allah niscaya Allah menjadikan baginya kemudahan dalam urusannya.” (Ath-Thalaq(65):4)

    d. Tidak bisa rujuk (talak 3), maka masa iddahnya hanya 1 kali haid (~ 1 bulan).

    e. Jika istri yg menggugat cerai, maka masa iddahnya = 1 bulan (~ 1 bulan).
    Dari Ibnu Abbâs Radhiyallahu anhu bahwa istri Tsabit bin Qais menggugat cerai dari suaminya pada zaman Rasululloh Shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu Rasululloh Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkannya untuk menunggu sekali haidh. (HR Abu Dâud dan at-Tirmidzi dan dishahihkan oleh syaikh al-Albâni dalam Shahîh Sunan Abu Dâud no.1 950).

    Demikian, semoga bermanfaat.
    **************

    dari: https://tausyiah275.wordpress.com/2014/03/22/pengertian-masa-iddah/

    terima kasih atas koreksinya.

Leave a comment